Tingkatan Al-Jahr Dan al-Ta’dil
16 November 2016
A. Tingkatan
Al-Jahr Dan al-Ta’dil
Ibnu Abi Hatim dalam mukadimah kitabnya yang berjudul Al-Jahr wa
Al-Ta’dil membagi tingkatan Al-Jahr dan
Al-Ta’dil masing-masing menjadi empat tingkatan yang kemudian
ditambah dua oleh ulama lain sehingga menjadi enam tingkatan.
1.
Tingkatan
dalam Al-Ta’dil
Dalam krtik
sanad, penilaian cacat dan adil terhadap periwayat memiliki tingkatan yang
beragam. Ada penilaian cacat yang tinggi, yaitu cacat yang fatal sehingga sama
sekali tidak ada toleransi. Sementara itu, ada pula penilaian cacat yang
rendah, yaitu cacat yang tidak terlalu fatal sehingga masih ada timbangan untuk
diterima, sekalipun bukan pada masalah hukum. Begitupula pada penilaian adil,
ada timgkatan tinggi pada umumnya berpengaruh pada keshahihan hadits. Disisi lain,
ada timgkatan rendah sehingga biasanya membuat hadits tidak dikatakan shahih.
Tingkatan tinggi dan rendah pada Al-Jahr dan Al-Ta’dil tersebut
dijelaskan dalam kitab-kitab ulama ahli kritik hadits. Misalnya Si A adalah
pendusta atau Si A sedikit pelupa, sedangkan Si B orang yang terpercaya atau Si
B orang yang baik. Begitu seterusnya. Kita akan mengetahui tingkatan Al-Jahr
dan Al-Ta’dil kalau membaca kitab mereka.
a.
Ungkapan
yang menunjukan makna tinggi (Mubalaghah) atau lebih (tafdil) Misalnya,
1)
فُلَانٌ إِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِي الْبَيْتِ = pada Si Fulan
terdapat puncak kekuatan dalam hafalan dan keadilan;
2)
فُلَانٌ أَوْسَقُ النَّاسِ atau أَثْبَتُ
النَّاسِ= Si Fulan adalah manusia terpercaya atau Si fulan adlah manusia
yang paling kuat (hafalan dan keadilan), dan
3)
لَيْسَ لَهُ نَظِيْرُ= seorang yang tidak ada
tandingannya.
b.
Ungkapan
yang menunujukan ke-tsiqah-an periwayat hadits dengan dua sifat atau
lebih, atau satu sifat yang terulang (taukid), Misalnya
1)
ثِقَةٌ ثَبَتُ atau ثِقَةٌ ضَابِةٌ =
terpercaya dan kuat daya ingat atau terpercaya dan kuat hafalan;
2)
ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ = terpercaya dan
amanah;serta
3)
ثِقَةٌ ثِقَةٌ = terpercaya, terpercaya
c.
Ungkapan
yang menunjukkan ke-tsiqah-an seorang periwayat satu sifat dan tanpa
taukid, Misalnya,
1)
فُلَانٌ ثِقَةٌ = si fulan terpercaya; dan
2)
ثَبِتٌ,
ضَابِطٌ, مُتْقِنٌ, حُجَّةٌ= kuat daya ingat, kuat hafalan, teguh dan
baik periwayatannya, serta hujah.
d.
Ungkapan
yang menunujkan adil saja, tanpa dhabit, Misalnya,
1)
صَدُوْقٌ atau
مَأْمُوْنٌ = sangat benar
2)
لاَبَأْسَ بِهِ atau لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ= tidak ada cacat padanya,(bagi Ibnu Ma’in لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ digunakan pada
arti tsiqah ), dan
3)
مَحَلُّهُ الصَّدُوْقُ = dapandang sangat benar.
e.
Ungkapan
yang tidak menunjukan tsiqah dan
tidak tajrih. Misalnya,
1)
فُلَانٌ شَيْخٌ= si fulan adalah seorang
syeikh; dan
2)
رَوَى عَنْهُ النَّاسُ= haditsnya diriwayatkan
orang.
f.
Ungkapan
yang menuujakan dekat dengan tajrih. Misalnya,
1)
يُكْتَبُ حَدِيْثَهُ= ditulis haditsnya;dan
2)
صَالِحُ الْحَدِيْثُ= baik haditsnya
Tiga tingkatan awal di atas dapat dijadikan hujjah tanpa diteliti
lebih lanjut, seaklipun berbeda dari segi potensinya. Tingkat kedua lebih
rendah dari tingkat pertama dn tingkat ketiga lebih rendah dari tngkat kedua.
Tingkat keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah, tetapi ditulis
haditsnya untuk keperluan verifikasi, sekalipun tingkat keempat lebih tinggi
daripada tingkat kelima. Verifikasi dapat dilaksanakan dengan cara
membandingkan dengan periwayatan orang-orang tsiqah lainnya. Jika
sesuai, dapat dijadikan hujjah; dan jika tidak sesuai, tidak dapat dijadikan
hujah. Sebagian ulama hadis ahlu tahqiq (peneliti) menggunakannya
dalam tingkat di bawah tingkat shahih, yaitu hasan. Adapun tingkat terakhir,
yaitu keenam, tidak dapat dijadikan hujah, tetapi tetap ditulis haditsnya untuk
bahan penelitian saja.
2.
Tingkatan
Al-Tajrih
Sebagaimana
tingkatan al-ta’dil, tiingkatan al-tajrih juga da enam. Berikut
ini tingkatanya.
a.
Ungkapan
yang menunjukan cacat keadilanyang ringan. Misalnya,
1)
فُلَانٌ لَئِنُ الْحَدِيْثُ= si fulan lemah
haditsnya;
2)
فِيْهِ مَقَالٌ= padanya ada catatan;
dan
3)
لَيْسَ بِالْقَوِيِّ= si fulan tidak kuat
b.
Ungkapan
yang menunjukkan bahwa hadits tidak dapat dijadikan hujah secara eksplisit.
Misalnya,
1)
فُلَانٌ لَايُحْتَجُ بِهِ= si fulan tidak dapat dijadikan hujah;
2)
فُلَانٌ ضَعِيْفٌ= si fulan lemah; dan
3)
لَهُ مُنْكَرٌ= baginya mungkar (dalam
hadits)
c.
Ungkapan
yang menunjukan bahwa hadits tidak ditulis secara tegas. Misalnya,
1)
فُلَانٌ لَا يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ = si fulan tidak ditulis haditsnya;
2)
لَا تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ = tidak halal meriwatkan
darinya;
3)
ضَعِيْفٌ جِدًّا = lemah sekali
d.
Ungkapan
yang menunjukkan tuduhan dusta. Misalnya,
1)
فُلَانٌ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ = si fulan tertuduh
dusta
2)
مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ = tertuduh membuat
(hadits) maudhu
3)
يَسْرُقُ الْحَدِيْثَ = ia mencuri hadits
4)
مَتْرُوْق atau سَاقِطٌ = gugur atau tetinggal haditsnya;
5)
لَيْسَ بِثِقّةِ = tidak terpercaya
e.
Ungkapan
yang menunjukan sikap bohong. Misalnya,
1)
وَضَّاعُ atau
دَجَّالٌ, كَذًّبٌ= pendusta,, dajjal (perusak), dan pemlsu;
dan
2)
يَكْذِبٌ atau يَضَعُ= bohong atau
memalsukan
f.
Ungkapan
yang menunjukan sifat bohong yang amat sangat (muballaghah) atau menggunakan
makna lebih atau paling (Tafdil). Misalnya,
1)
اِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِي الْكَذِبِ= padanya puncak
kebohongan;
2)
هُوَ رُكْنُ الْكَذِبِ = ia tiang kebohongan;
dan
3)
اَكْذَابُ النَّاسِ= manusia yang paling
bohong
Dua tingkatan pertama haditsnya
tidak dapat dijadikan hujah, tetapi ditulis untuk bahan penelitian, sekalipun
tingkat kedua lebih rendah daripada tingkat pertama. Sementara itu, empat
tingkatan terakhir tidak dapat dijadikan hujah, tidak ditulis haditsnya, dan
tidak perlu diteliti karena sangat lemah atau benar-benar bohong.