Sejarah Perkembangan Akhlak

A.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Akhlak
Ajaran akhlak muncul bersamaan dengan lahirnya Islam. Nabi Muhammad SAW. diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana sabdanya yang mengandung arti: “Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan kepribadian yang baik”. Menurut Muhammad ‘Imaduddin Ismail, terminologi akhlak dan syakhshiyah dalam literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu. Namun dalam literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna sendiri-sendiri. Akhlak merupakan usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada perilaku pribadi dari sudut baik buruk, kuat lemah dan mulia rendah. Sementara shakhsiyah tidak terkait diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab didalamnya tidak ada unsur-unsur evaluasi.
Ajaran akhlak yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah bersifat absolut dan universal serta mutlak, yakni tidak dapat di tawar-tawar lagi dan akan berlangsung sepanjang zaman. Namun, dalam penjabaran ajaran Al-Qur’an yang absolut, mutlak dan universal itu diperlukan akal pikiran manusia.Hasil pemikiran akal terhadap masalah yang absolut itu bentuknya berbeda-beda sesuai dengan keadaan masyarakat atau sesuai dengan yang diakui masyarakat. Sebagai contoh, menutup aurat adalah merupakan akhlak yang bersifat absolut, mutlak dan universal, tetapi bagaimana cara dan bentuk menutup aurat itu dapat berbeda-beda.
Berikut ini adalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari masa (bangsa) Yunani sampai datangnya peradaban Islam:
1.    Akhlak pada Bangsa Yunani
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak pada Bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (450-500 SM). Sedangkan sebelum itu dikalangan Bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
Dasar yang digunakan pada pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat antroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika murni.
Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filusuf Yunani itu secara redaksiaonal berbeda-beda, tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Sejarah mencatat bahwa filusuf Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 SM). Socrates dipandang sebagai perintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antar manusia dengan dasar ilmu pengetahuan dia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk pola hubungan itu tidak akan menjadi benar, kecuali bila didasarkan pada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu. Socrates dianggap seorang yang telah menaruh dasar-dasar ilmu etika karena dianggapnya dia adalah seorang yang berusaha sungguh-sungguh untuk menaruh perilaku manusia diatas dasar keilmuan. Pengaruh Socrates ini juga menimbulkan berbagai aliran ilmu akhlak (etika) yang bermacam-macam dan terus berlangsung sampai sekarang.
Golongan atau aliran yang terpenting ialah aliran cynics dan aliran cyrenics yang kesemuanya adalah para pengikut Socrates. Golongan cynics itu adalah pengikut ajaran sutiscanes (444-370 M). Sebagian dari ajarannnya adalah tuhan bersih dari kebutuhan, yakni tidak membutuhkan apa-apa dan sebaik-baiknya orang itu ialah orang yang sama akhlak nya dengan akhlak tuhan. Karenanya dengan sepenuh kekuatannya dia memperkecil kebutuhan-kebutuhan manusiawi nya, merasa cukup dengan sedikit, rela menderita, memandang hina kepada kekayaan, menghindari kesenangan dan kelezatan, tidak menghiraukan kemiskinan dan cemoohan orang, asal mereka tetap memegang keutamaan. Tokoh aliran ini yang terkenal ialah Deoganis, wafat pada tahun 323 SM. Deoganis ini mengajarkan kepada murid-muridnya supaya mereka membuang segala kebiasaan manusia. Deoganis sendiri berpakaian compang camping, makan makanan buruk dan tidur di atas tanah.
Kemudian datang Plato (429-347 SM) murid Socrates. Dia menulis banyak buku-buku yang tetap terpelihara sampai sekarang. Buku ini ditulis dalam bentuk Tanya jawab, yang termasyhur ialah Republik. Pendapat-pendapat Plato mengenai akhlak (etika) yang tersebar dalam bentuk Tanya jawab itu bercampur dengan bahasan-bahasan filsafatnya serta dikemukakan atas dasar teori gambar atau contoh. Plato berpendapat bahwa dibelakang alam wujud (fisika) ini ada alam lain yang bersifat ruhani (metafisika) dan setiap benda yang berjasad itu mempunyai gambar yang tidak berjasad di alam tuhan. Pendapatnya ini dipergunakan nya didalam soal akhlak (etika).
Plato berpendapat bahwa didalam jiwa itu ada berbagai kekuatan yang berlainan, sedang keutamaan itu timbul dari keseimbangan kekuatan-kekuatan itu yang juga tunduk kepada akal. Menurut ajaran plato, pokok-pokok keutamaan itu ada empat, yaitu kebujaksanan, keberanian, kesucian, dan keadilan.
Pokok-pokok yang empat inilah yang menjadi syarat untuk tegak dan lurusnya bangsa-bangsa maupun perseorangan. Dikalangan bangsa-bangsa menganggap bahwa kebijaksanaan itu adalah keutamaan bagi para hakim dan pemimpin, keberanian adalah keutamaan tentara, kesucian adalah keutamaan rakyat, dan keadilan adalah keutamaan semua golongan. Pokok-pokok ini membatasi setiap perbuatan manusia dan mendesaknya supaya ia berbuat dengan cara yang sebaik-baiknya.
Kemudian datang Aristo atau Aristoteles (382-384 SM). Dia ini adalah muridnya Plato. Dia telah membuat aliran baru yang para penganutnya dinamakan Peripatics. Dia mempelajari akhlak (etika) dan berpendapat bahwa tujuan terakhir yang diusahakan dengan perbuatan manusia itu adalah kebahagiaan. Namun, pandangannya mengenai kebahagiaan ini adalah lebih luas dan lebih tinggi dari pada aliran utility. Menurut aristoteles cara mencapai kebahagiaan itu ialah dengan mempergunakan kekuatan akal sebaik-baiknya.
Aristoteles juga yang telah menciptakan teori “tengah-tengah” diantara dua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antara berlebihan dan kikir, dan keberanian adalah tengah-tengah antara kecerobohan dan kekuatan.
2.    Akhlak pada Agama Nasrani
Pada akhir abad III tersebarlah Agama Nasrani di Benua Eropa, berubahlah jalan pikiran Eropa pada waktu itu, mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran akhlak (etika) yang terdapat dalam kitab taurat dengan menyatakan bahwa Allah sumber akhlak, sebab dialah yang menciptakan segala kaidah dan patokan yang kita taati dalam segala perilaku yang menerangkan kepada kita tentang baik dan buruk, dan kebaikan itu semuanya adalah mencari kerelaan Allah dan melaksanakan perintah-perintahnya.
Ajaran nasrani yang terpenting yang menyalahi ajaran-ajaran Yunani hanyalah mengenai pendapat tentang daya kejiwaan yang mendorong manusia untuk berbuat. Menurut para filosof Yunani daya pendorong berbuat baik itu ialah pengetahuan atau kebijaksanaan, sedangkan menurut nasrani perbuatan baik itu timbul dari cinta dan percaya kepada allah.
Agama nasrani memerintahkan manusia supaya dengan sekuat tenaga membersihkan dirinya, baik pikirannya maupun perbuatannya. Nasrani memberikan kekuasaan penuh kepada ruh atas badan dan syahwat. Karena itulah dahulu kala sudah jadi kebiasaan bagi para pemeluk agama ini untuk menelantarkan badan, menjauhi dunia, cenderung kepada bertapa, beribadat, dan kerahiban.
  1. Akhlak pada Bangsa Romawi (abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat yunani serta menantang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh karena itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari panduan antara ajaran yunani dan ajaran nasrani. Diantara mereka yang termasyhur ialah Abelard, seorang ahli filsafat Prancis (1079-1274).
  1. Akhlak pada Bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman Jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran faham tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bangsa Yunani dan Romawi. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnya kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat arab. Pada masa itu bangsa arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Didalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang tercela dan hina.
        5.      Perspektif Filusuf Etika Barat
Beberapa ahli sejarah filsafat, mislanya Prof. Rabobart, berupaya memaparkan isu-isu penting yang menjadi perhatian para filsuf etika di barat, diantaranya mengenai norma akhlak. Tujuan norma akhlak menurut filsuf etika adalah daya obligatif yang memiliki kekuasaan suprematif terhadap manusia dan perbuatan yang dilakukannya sebab ia mendorongnya untuk melakukan perbuatan tertentu. Dengan bahasa lain, norma akhlak adalah hubungan antara keinginan manusia dengan perbuatan yang dilakukannya disertai pembatasan hubungan dan jangkauan pengaruhnya pada perilaku.
Para filsuf etika memiliki pendapat yang beragam dalam permasalahan ini. Sebagian diantara mereka mengajukan teori al-qānūn adz-dzati bahwa manusia menyimpan sebuah kekuatan dalam dirinya yang digunakannya untuk membedakan antara yang benar dan salah,menunjukkannya pada kewajiban, dan mendorongnya untuk melakukannya. Robobart mengatakan: sebagian kalangan mengatakan bahwa norma akhlak ada dalam diri kita sendiri, dan ia merupakan suara batin yang memandu kita bagaimana membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Qanun etika bersumber dari diri kita, dan digodok oleh kekuatan dalam diri kita. Ia menetap dalam relung-relung diri kita, membantu kita menyingkirkan sekat-sekat lahiriyah hingga kita bisa mencapai idrāk al-wājib (pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan). Aturan atau norma akhlak ini memandu kita dalam berbuat dan ia mempunyai dominasi kuat atas sumber-sumber kekuasaan lainnya. Teori ini disebut teori al-qānūn adz-dzati karena mengandaikan adanya qanun etika/akhlak dalam tabi’at manusia. Sementara, sebagian kaum filusuf etis menganggap suara batin ini sebagai suara akal sehingga mereka kemudian dikenal dengan sebutan kaum rasional (al-‘aqliyīn).
Ada lagi teori lain yang disebut oleh kalangan filusuf etika dengan nama teori norma eksternal. Para pengusungnya berpendapat bahwa ada kekuatan eksternal di luar diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat dengan otoritas yang dimilikinya terhadap perilakunya. Sebagian diantara mereka otoritas ini sebagai agama, sementara yang lain mendefinisikannya sebagai hukum konvensional. Prof. Rabobart mengatakan : “berkebalikan dengan teori norma personal (al-qānūn adz-dzati) ada teori norma eksternal (al-qānūn al-khāriji). Ia meletakkan norma akhlak dan otoritasnya di tangan otoritas luar. Teori ini menyatakan bahwa rasa takut kepada tuhan semesta alam, takut pada makhluk (manusia), dan hasrat memperoleh pahala dari allah dan kebaikan dari manusia, adalah dasar kewajiban-kewajiban moral, dan ia merupakan otoritas yang mendorong seseorang untuk mematuhi aturan etika. Aturan etis dan kaidah-kaidah yang menjelaskan perilaku etika (norma) bersumber dari kekuatan eksternal, bukan dari kekuatan dalam diri kita, seperti kehendak tuhan dan pranata sosial.
Singkatnya, kalangan filsuf etika barat yang membahas teori-teori mengenai norma akhlak bagi perilaku manusia dan otoritas (pengaruh) yang dimilikinya pada perilaku perbuatan berkesimpulan bahwa otoritas tersebut adalah akal, atau perasaan atau hukum konvensional, atau agama.
      6.      Perspektif Etikawan Muslim
Sebagian ulama muslim, diantaranya Prof. Manshur Rajab, berpendapat bahwa norma akhlak berarti sesuatu yang dijadikan tolok ukur untuk memberikan penilaian saat terjadi pertentangan antar berbagai pola perilaku bahwa pola ini lebih baik dari pola itu.
Pertama-tama ia mengajukan pertanyaan hipotesis dengan apa kita mengukur akhlak manusia? kemudian melansir sejumlah norma (tolok ukur) yang bervariatif sebagai dasar penilaian. Ia mengatakan : “Dengan apa kita menilai baik buruk perilaku perbuatan manusia? apakah kita mengukurnya dengan tolok ukur pendapat personal (seorang filsuf)? Baik hukum konvensional buatan manusia maupun hukum samawi yang turun melalui proses pewahyuan.?
Setelah semua itu, Prof. Rajab kemudian menetapkan sebuah kesimpulan penting bahwa pendapat personal para filsuf, tradisi masyarakat setempat, dan hukum konvensional tidak layak dijadikan sebagai norma akhlak sebab standar etika yang valid harus bersifat baku, alias tidak berubah-ubah, dan bersifat umum hingga bisa diterapkan bagi segenap manusia tanpa pandang bulu, tempat dan waktu.
Jelasnya, pendapat kaum filsuf hanyalah sekedar pendapat pribadi, dan mereka saling mengeritik satu sama lain sehingga pendapat mereka mengenai etika pun beragam sebagaimana halnya keragaman wacana yang mereka angkat. Kemudian, tradisi juga berbeda-beda antar satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, disamping karena faktor perbedaan waktu. Sementara hukum konvensional merupakan produk hukum manusia yang bisa salah dan bisa benar, dan hukum-hukum konvensional ini pun beragam sesuai dengan keragaman visi pembuatnya. Oleh karena itu, ketiganya tidak layak dijadikan sebagai norma akhlak yang shahih.
Adapun norma akhlak yang shahih adalah agama sebab ia merupakan wahyu dari tuhan, dan dia tentu saja lebih mengetahui perundang-undangan atau aturan hukum yang tepat dan bermaslahat bagi umat manusia, serta lebih mengerti soal aturan-aturan peribadatan maupun perilaku-perilaku mulia yang bisa menyantunkan diri mereka dan meluruskan akhlak mereka. Dan semua itu berlandaskan prinsip iman dan islam.
      B.     Karakteristik Akhlak Islam
Akhlāqul karīmah mempunyai karakteristik yang jelas dan nyata bagi pelakunya. Ajaran akhlak diterapkan secara sungguh-sungguh diharapkan bisa menyelamatkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya.
Tidak mudah membahas karakteristik ajaran akhlāqul karimah, karena ruag lingkupnya sangat luas, mencangkup berbagai aspek kehidupan manusia. Karakteristik ajaran akhlaqul karimah, mengacu pada karakteristik ajaran islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dan berbagai disiplin ilmu. Karakteristik ajaran akhlaqul karimah ialah suatu karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim dengan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis dalam berbagai bidang ilmu, kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi,kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu dan berbagai macam ilmu khusus. Karakteristik ini banyak terdapat di dalam sumber-sumber ajaran Al-Quran dan Hadis. Kedua sumber ini telah menjadi pedoman hidup bagi setiap umat islam. Aspek-aspek aklaqul karimah ini diberi karakter tersendiri dalam berbagai ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik, pekerjaan, kesehatan, dan disiplin ilmu untuk sepanjang masa.
Perhatian ajaran islam terhadap pembinaan akhlak ini lebih lanjut dapat dilihat dari kandungan Al-Qur’an yang banyak sekali berkaitan dengan perintah untuk melakukan kebaikan, berbuat adil,  menyuruh berbuat baik, dan mencegah melakukan kejahatan dan kemungkaran. Perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)
“Sesungguhnya Allah Menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia Melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia Memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]: 90).
Persoalan Akhlak didalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat dalam Al-Qur'an dan al-Hadis. Sumber tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. Ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah.
Kita telah mengetahui bahwa akhlak islam itu merupakan sistem moral/akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bersumber dari akidah yang diwahyukan Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya yang kemudian disampaikan kepada umatnya. Akhlak Islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar/sumber pokok akhlak Islam adalah al-Qur'an dan Hadis yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri.
Akhlak islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati bagi penyakit sosial dari jiwa dan mental. Tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dua simbolis tujuan inilah yang diidamkan manusia bukan semata berakhlak secara islami hanya bertujuan untuk kebahagiaan dunia saja. Dalam ajaran islam mempunyai ciri-ciri akhlak islamiyah, yaitu:
a)      Kebajikan yang mutlak
Islam menjamin kebajikan yang mutlak. Karena Islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebajikan yang murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan, dan waktu bagaimana pun. Sebaliknya, akhlak yang diciptakan manusia tidak dapat menjamin kebajikan dan hanya mementingkan diri sendiri.
b)      Kebaikan yang menyeluruh
Akhlak Islami menjamin kebaikan untuk seluruh umat manusia. Baik segala zaman, semua tempat, mudah dan tidak mengandung kesulitan, dan tidak mengandung perintah berat yang tidak dikerjakan oleh umat manusia diluar kemampuannya. Islam menciptakan akhlak yang mulia sehingga dapat dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima akal yang sehat.
c)      Kemantapan
Akhlak Islamiyah menjamin kebaikan yang mutlak dan sesuai pada diri manusia. Ia bersifat tetap, langgeng dan mantap, sebab yang menciptakan Tuhan yang bijaksana, yang selalu memeliharanya dengan kebaikan yang mutlak. Akan tetapi akhlak manusia berubah-ubah dan tidak selalu sama sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam satu zaman atau satu bangsa. Sebagai contoh aliran materialisme dan sebagainya.
d)     Kewajiban yang dipatuhi
Akhlak yang bersumber dari agama Islam wajib ditaati manusia. Sebab, ia mempunyai daya kekuatan yang tinggi menguasai lahir batin dan dalam keadaan suka dan duka, juga tunduk pada kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang kepadanya. Juga sebagai perangsang untuk berbuat kebaikan yang diiringi dengan pahala dan mencegah perbuatan jahat, karena takut siksaan Allah SWT.
e)      Pengawasan menyeluruh
Agama Islam adalah pengawas hati nurani dan akal yang sehat. Islam menghargai hati nurani bukan dijadikan tolak ukur dalam menetapkan beberapa usaha.
            Dengan demikian, akhlak islami mengarah kepada status pribadi yang berada pada kelompok sosial yang beraneka ragam. Fungsi, peran dan bagaimana semestinya berperilaku pada posisi(kedudukan) dalam kelompok sosial tersebut. Dengan adanya akhlak islami, dapat menghindari kekeliruan dalam bertindak.















Daftar Pustaka
Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2007)
Damanhuri. Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili. (Jakarta : Lectura Press, 2014)
Fauqi Hajjaj, Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak.(Jakarta: Amzah,2011)
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2012)
M. Musthafa, Akhlak Tasawuf (Bandung:2014)
Zahruddin AR Dkk. Pengantar Studi Akhlak. (Jakarta : PT Rajagrafindo persada, 2004)

Makalah ini disusun oleh :
1.      Ahmad Nasuki                                    (11140110000068)
2.      Sholihin Firdaus                                  (11140110000038)
3.      Antin Java Turis Repmi Tamsih          (11140110000103)
4.      Siti Rohemi                                         (11140110000007)
Mata Kuliah Aqidah Akhlak “Sejarah dan Karakteristik Ilmu Akhlak  “

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel