Makalah Hukum Nikah Sirri, Mut'ah
06 October 2016
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nikah
Sirri
1. Pengertian
Kata
“Sirri” berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya “rahasia”. Menurut
terminologi fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para
saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga
setempat.
Menurut pandangan ulama, nikah sirri
terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Dilangsungkannya pernikahan suami istri
tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui
saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati
untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan seluruh ulama fiqih,
pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Karena tidak memenuhi syarat
pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah
sifah (perzinaan) atau ittikhadzul-akhdan (menjadikan wanita atau lelaki
sebagai piaraan untuk pemuas nafsu).
b. Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat
dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi
mereka sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini dari telinga masyarakat. Jumhur ulama
memandang pernikahan ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu perkara
yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan
rahasia lagi. Dilarang, karena adanya perintah Rasul SAW
untuk walimah dan menghilangkan unsur yang berpotensi mengundang keraguan dan
tuduhan tidak benar.
2.
Nikah Siri
Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 pasal 2 ayat [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
a. Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada
Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
b. Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
c. Pengecualian
dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting
diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah siri dan setiap upacara
pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara yang berwenang. Bahkan
negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku nikah siri dengan
alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban, yang mana anak yang
lahir dari pernikahan siri akan sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda
penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
3.
Nikah Siri
Menurut Islam
Hukum nikah siri dalam Islam adalah
sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun nikah terpenuhi, dimana rukun
nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut:
a. Adanya
calon mempelai pria dan wanita
b. Adanya
wali dari calon mempelai wanita
c. Adanya
dua orang saksi dari kedua belah pihak
d. Adanya
ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria
untuk dinikahi
e. Qabul;
yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika dalam
pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka
pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak
tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak
memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut
syariat Islam, dalam hadits disebutkan : “Tidak ada nikah kecuali dengan
adanya wali dan dua saksi yang adil” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860
dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557).
4.
Hukum Nikah Sirri
Hukum nikah sirri secara agama adalah sah atau legal jika
syarat nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirri digelar. Pada prinsipnya selama
nikah sirri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka
dapat dipastikan hukum dasarnya sudah sah. hanya saja bertentangan dengan
perintah Nabi SAW yang menganjurkan agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada
orang lain agar tidak menjadi fitnah.
Istilah nikah sirri memang sudah dikenal di kalangan
ulama. Hanya saja nikah sirri dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya
dengan nikah sirri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu
nikah yang sesuai dengan rukun dan syarat menurut syariat, hanya saja saksi
diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai,
kepada masyarakat dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-ursy.
Menurut buku masail fiqhiyah karangan Marhamah
Shaleh Lc. M.A. Apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan
tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib
bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.
An-Nisa: 59)
Nikah
sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut
hukum Islam, karena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya) yang bertentangan
dengan ajarn Islam dan bisa mengundang fitnah, serta bisa mendatangkan mudharat
/resiko bagi pelakunya dan keluarganya. Nikah sirri juga tidak sah menurut
hukum positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku
dan benar, dan tidak pula diadakan pencatatannya nikahnya oleh KU
5.
Pendapat Para Ulama
Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang
nikah sirri:
a.
Menurut pandangan mazhab Hanafi dan Hambali suatu pernikahan yang syarat
dan rukunnya terpenuhi maka sah. Hal itu sesuai dengan hadis yang berbunyi:”
Takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil
mereka (dari orang tuanya) dengan amanah Allah dan kamu halalkan
percampuran dengan mereka dengan kalimat Allah (ijab kabul).” (HR. Muslim)
b.
Dr. Yusuf Qardawi salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di
Islam, ia berpendapat bahwa nikah sirri itu sah selama ada ijab kabul dan saksi.
6.
Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya
Pernikahan Sirri
a.
Nikah
sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak
atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak
berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang tuanya
menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak diambil oleh
orang lain.
b.
Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu
atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai
istri atau suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
c.
Nikah
sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran karena
hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai
jalan keluar yang mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan
kekhawatiran terjadinya zina.
d.
Nikah
sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara
sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir
terjadi zina, mereka masih kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani
masalah rumah tangga. Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak
menghambat pergaulan dan aktivitas dengan teman-teman di kampus.
e.
Nikah
sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur
hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang
jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah
tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah
rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah
dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu
dicatatkan, juga nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan
prosedur administrasi yang berbelit-belit.
f.
Nikah
sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja.
Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah
menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di
persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi
perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap lembaga
pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di
Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan
disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi:
a.
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;
b.
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan
pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di
KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan
selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975”
dengan dicatat di kantor catatan sipil.
B.
Nikah Mut’ah
1.
Pengertian
Kata Mut’ah berasal dari bahasa Arab yang
mempunyai arti bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Secara
terminologi nikah Mut’ah yaitu seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang
perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula.
Di Indonesia, kawin Mut’ah ini populer dengan kawin kontrak.
Kawin kontrak atau kawin perjanjian
merupakan tradisi masyarakat jahiliah, yang disebut dalam hukum islam sebagai
istilah nikah Mut’ah kadang-kadang juga disebut perkawinan temporer atau
perkawinan terputus.
Menurut Ibnu Qudamah nikah Mut’ah adalah
adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu
saja, misalnya (seorang wali)
mengatakan: “saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau
setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalanan haji ini
dan sebagainya.”
Menurut Sayyid Sabiq perkawinan Mut’ah
adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau
sebulan.Dan dinamakan Mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa
cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu
yang telah ditentukan.
Dari definisi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa nikah Mut’ah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat
dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka perempuan
yang telah dikawini dinyatakan tertalak
2.
Hukum Nikah Mut’ah
Untuk
menentukan status hukum tentang nikah mut’ah, maka dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa macam pendapat yaitu:
a. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Al-Laith dan Imam al Auza mengatakan perkawinan mut’ah hukumnya
haram. Pendapat ini didasarkan pada hadits antara lain, Yang artinya: “ bahwasanya Rasulullah SAW
mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku
pernah mengizinkanmu sekalian kawin mut’ah maka sekarang ketahuilah, bahwa
Allah mengharamkannya sampai hari kiamat.”(H.R. Ibnu Majah)
b. Pengikut madzhab syi’ah mengatakan
dibolehkan dalam agama. pendapat ini didasarkan sebuah hadits, yang artinya: “bahwasanya Umar berkata: Dua macam
perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah
aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terdapat perlakuannya? (kedua itu)
adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (yang tidak bepergian) dan kawin
mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah haji. Karena hal itu, merupakan
perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu
berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.
c. Imam zufar berkata perkawinan mut’ah
hukumnya sah meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran
islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut
madzhab syi’ah diatas, tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat
kawin untuk selamanya, tetapi hanya waktu sementara saja.
3.
Nikah Mut’ah pada Zaman Nabi
Nikah Mut’ah pada zaman
Nabi dibolehkan namun tidak berlaku untuk semua
orang hanya untuk orang tertentu karena terdapat suatu kondisi yang
sangat mendesak. Menurut Yusuf Qardawi rahasia dibolehkan nikah Mut’ah pertama
kali pada zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari
dunia jahiliyah ke dunia Islam, dimana zaman jahiliyah perzinahan merupakan
budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam mewajibkan kepada umatnya untuk
pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat tinggal jauh dengan istr-istri
mereka.Di antara kaum yang ikut berjihad dengan Rasulullah itu ada yang
memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat
takut terjerumus ke jurang perzinahan, adapun mereka yang kuat imannya
bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengembiri.
Berdasarkan keterangan di
atas maka jelaslah bahwa diperbolehkannya nikah Mut’ah pada zaman Nabi itu
memiliki alasan:
a.
Merupakan
keringan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang
dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
b.
Sebagai
langkah perjalanan hukum Islam menuju diterapkannya kehidupan rumah tangga yang
sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan, yaitu melestarikan
keturunan, cinta, kasih sayang, dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait
dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya tampak langkah pengharaman nikah mut’ah
yang ditempuh oleh islam itu dilakukan secara priodik seperti proses
pengharaman khamar. Rasullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi
tertentu.Kemudian rasulullah mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk
pernikahan.
Maka
dari itu kebolehan nikah mut’ah telah di nasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamannya.Dengan
demikian, hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan
seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.
4.
Nikah Mut’ah Masa Kini
Nikah
mut’ah masa kini banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat meski mendapat
protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu muncul karena dirasakan mudah
untuk dilakukan pada zaman dimana orang banyak berfikir pragmatis, selain jika
dilihat tabi’atnya bahwa salah satu kesamaan
bahwa manusia masa lampau dengan masa kini diantaranya adalah masalah
nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama, dimasa sekarang ini praktik nikah
mut’ah terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang
ditetapkan oleh kelompok syi’ah.
Penghalalan
nikah mut’ah pada masa sekarang ini daapat dikatakan batil dan sangat mudah
untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli, seperti penjelasan berikut ini:
a.
Islam
menerapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas
landasan motivasi untuk hubungan yang
kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta
menciptakan keturunan yang langgeng.
Adapun dalam nikah mut’ah tidak
bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah disepakati. Dan perceraian
kedua pasangan itu secara otomatis
dikaerenakan habis masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan
dengan prinsip dan tujuan nikah dalam islam.
b.
Menghalalkan
kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan
secara sempurna oleh islam. Salah satu ebab diperbolehkannya nikah pada zaman
Nabi karena kondisi “transisi” dari jahiliiyah kepada islam. Dimana perzinaan
pada masa zahiliyah merupkan budaya yang sudah menyebar. Diperbolehkannya
menikah mut’ah ketika itu sebgai langkah proses menuju pernikahan yang
sempurna. Adi nikah mut’ah sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah
disyari’atkannya nikah yang sempurna.
BAB
III
KESIMPULAN
- Kata “Sirri” berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya “rahasia”.Menurut terminology fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat.
- Hukum nikah sirri secara agama adalah sah atau legal jika syarat nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirri digelar
- Kata Mut’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan.Secara terminologi nikah Mut’ah yaitu seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin Mut’ah ini populer dengan kawin kontrak.
- Nikah mut’ah telah di nasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamannya.Dengan demikian, hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.
DAFTAR PUSTAKA
- Mahjuddin. 2014. Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam. (Jakarta: Kalam Mulia).
- Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil. (Jakarta: Sinar Grafika).
- Shidiq, Sapiudin. 2016. Fiqih Kontemporer. (Jakarta: KENCANA).
- Saleh, Marhamah. 2011. Masail Fiqhiyah Membahas Tentang Isu-Isu Fiqih Kontemporer. (Jakarta: UIN Jakarta).
- https://fandyisrawan.wordpress.com/2014/02/26/makalah-nikah-siri/
- http://ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/06/makalah-nikah-siri-dan-nikah-mutah.html
Dosen
Drs. Gufron Ikhsan, MA
Makalah
ini disusun oleh :
Rizkah
Fadliah
Putri
Robiah Adawiya
Maula
A’ida Anjani
Zuhrotun
Uyun
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016